Di
kala musim semi tiba, bunga bermekaran.
Indah...
Seperti dirimu yang telah memiliki “mataku”.
Jangan
pernah sia-siakan apa yang telah aku beri.
Karena
aku sangat MENCINTAIMU...
Kecelakaan
sore itu membuat jiwa Risa terganggu. Pasalnya selain kakinya yang
patah, dia divonis buta seumur hidup bila tak ada pendonor mata.
Pernah dia mencoba bunuh diri karena tak tahan dengan semua ini,
namun berkat nasehat orangtuanya, Risa pun tak jadi bunuh diri.
Risa,
adalah gadis berusia 18 tahun. Bersekolah di sebuah sekolah yang
cukup terkenal di kotanya. Di kelasnya dia termasuk gadis yang
berprestasi. Dia juga menyukai seorang cowok yang bernama Andro. Dan
Andro sebenarnya juga menyukai Risa. Dia belum berani menyatakan
cinta pada Risa karena dia tahu bahwa menjalin sebuah hubungan
pacaran hanya dapat menganggu kegiatan belajar Risa. Dia tak mau
beasiswa Risa dicabut karena nilainya jelek. Sungguh mulia sekali
Andro, mengorbankan perasaannya demi cita-cita Risa yang ingin
menjadi arsitek itu.
Pada
suatu hari di sekolah, teman-temannya berniat akan menjenguk Risa
sepulang sekolah. Tak lupa Andro juga akan menjenguk.
“Dro,
kamu nanti ikut jenguk Risa, kan ?” tanya Dila.
“Pastinya
ikut. Tapi kita beli buah-buahan dulu, ya.” kata Andro.
“Siap,
Dro!! Semangat banget kamu, Dro. Hayooo… kamu suka sama Risa, ya?”
goda Sasya.
“Yeee…
kamu apaan, sih. Mmm… Ngomong-ngomong Risa sudah dapet pendonor
belum, ya? Kasihan, kan, kalau belum.” tanya Andro.
“Wah,
kalau itu aku belum tahu, Dro. Nanti kita tanya saja langsung.”
kata Dila.
“Jangan!
Itu hanya membuat Risa tambah sakit, kan, La.” jelas Andro.
“Kalau
belum kamu mau apa, Dro? Mendonorkan matamu untuk Risa, ya?” tanya
Sasya.
Terlintas
perkataan Sasya barusan. Mendonorkan mata untuk Risa, apakah dia
harus mendonorkan matanya demi Risa yang dia suka?, Pikirnya begitu.
Namun, apakah orangtuanya setuju dengan tindakannya? Dan apakah Risa
mau menerima donor dari matanya? Dan apakah Risa masih mau berteman,
bahkan menjalin hubungan dengannya? Andro melamun.
“Dro??
Andro?” Sasya memanggil Andro yang melamun.
“Eh,
maaf. Apa? Ada apa?” Tanya Andro.
“Bel
sudah bunyi. Ayo masuk kelas.” Kata Dila.
Di
kelaspun Andro masih memikirkan kata-kata Sasya. Tapi dia mencintai
Risa. Dia tak mau cita-cita Risa kandas karena tak bisa melihat.
Apalagi dengan kondisi ekonomi keluarga Risa yang berbeda jauh dengan
Andro.
Pulang
sekolah. Mereka pergi ke rumah Risa. Mereka membelikan buah apel
kesukaan Risa.
Tiba
di rumah Risa.
“Risa.
Kamu baik-baik saja, kan ?” tanya Dila.
“Ya,
beginilah, La. Doakan aku agar aku dapat pendonor mata, ya.” kata
Risa.
“Tentunya,
Ris. Kita akan mendoakanmu. Kita kesepian, Ris, ga ada kamu.” kata
Sasya.
“Ya,
apa boleh buat, Sya. Tuhan memberikan aku cobaan seperti ini.”
“Yang
semangat, ya, Ris. Kami selalu ada untukmu.” Sasya memberi
semangat.
Risa,
Dila dan Sasya berbincang-bincang dan bercanda. Sedangkan Andro
berbincang dengan orangtua Risa.
“Om,
Tante. Apakah Risa sudah mendapatkan donor mata ?” tanya Andro.
“Belum,
Ndro. Rumah sakit belum memberi kabar. Tapi kami ga berharap lebih
pada rumah sakit. Kami akan mencarikan pendonor untuk Risa
secepatnya.” jawab Ayah Risa.
“Mmm,
mungkin tindakan saya akan ditolak dan pasti tak disetujui Om dan
Tante, dan juga orangtua saya.” kata Andro.
“Memangnya
tindakan apa yang hendak kau lakukan ?” tanya Ibu Risa.
“Sepintas,
saya berfikir. Saya mau mendonorkan mata saya untuk Risa Om, Tante.”
jawab Andro.
Mendengar
itu, Ayah dan Ibu Risa tercengang. Dan mencoba mencegahnya.
“Om
dengan senang hati, Ndro. Dan sangat berterimakasih padamu. Tapi kami
tak mau menerimanya. Risa pasti juga tak akan mau menerima.” jelas
Ayah Risa.
“Saya
juga berfikir begitu. Tapi saya benar-benar ga' tega melihat Risa
dalam kegelapan Om, Tante. Lebih baik saya yang merasakan kegelapan
itu. Saya akan dapat melihat cahaya bila Risa dapat melihat.” jelas
Andro.
“Tante
ga' akan pernah mau menerimanya, Ndro. Jangan memaksa kami.” tolak
Ibu Risa.
“Tapi
saya akan tetap melakukannya. Permisi, Om, Tante.” Andro pamit
pulang.
Dila
dan Sasya juga pamit pulang 5 menit kemudian.
“Risa
sayang.” kata Ibu.
“Ibu
?”
“Iya.
Ada seseorang yang ingin mendonorkan matanya untuk kamu.” jelas
Ibu.
“Yang
benar, Bu ??” tanya Risa senang.
“Iya.
Tapi kamu jangan senang dulu, ya. Dia masih ragu-ragu ibu pikir.
Karena dia hanya memngirim pesan singkat.”
“Dasar
tuch orang. Siapa, sih, Bu ?”
“Ibu juga ga tahu darimana dia tahu jika kamu butuh donor mata. Tapi ibu akan tetap mencarikan untukmu, sayang.” jelas ibu.
“Ibu juga ga tahu darimana dia tahu jika kamu butuh donor mata. Tapi ibu akan tetap mencarikan untukmu, sayang.” jelas ibu.
“Makasih,
ya, Bu.”
“Ya,
sudah. Kamu tidur dulu. Sudah malam.”
“Iya, Bu. Selamat malam.”
“Iya, Bu. Selamat malam.”
Di
rumah Andro, Andro meminta ijin kepada orangtuanya.
“Ayah,
Ibu. Andro punya satu permintaan. Tapi harus dikabulkan, lho.” kata
Andro.
“Apa
memangnya?” tanya Ayah.
“Tapi
janji dulu, jangan marah. Jangan menolak, dan harus dituruti dan
disetujui. Aku tidak akan minta-minta lagi jika permintaanku ini
dikabulkan. Janji.” ancam Andro.
“Cepat,
katakan saja, Ndro.” kata Ibu.
“Aku
ingin mendonorkan mataku untuk Risa.” jawab Andro.
“Apa
!!!!!!!!!” Ayah kaget.
“Ha
!!!!!!!!” Ibupun juga.
“Jangan
macam-macam kamu!” kata Ayah.
“Aku
ga macam-macam, Yah. Ini permintaanku yang terakhir, dan aku ga akan
meminta lagi. Janji.” kata Andro.
“Kamu
mau mendonorkan matamu untuk Risa temanmu itu ?” tanya Ibu.
“Bukan
teman, Bu. Tapi calon pacar.”
“Bagaimana,
Yah. Ibu yakin dia akan terus memaksa. Ibu ga mau dia buta demi Risa,
Yah.”
“Bu, aku ga buta jika Risa bisa melihat.” kata Andro.
“Bu, aku ga buta jika Risa bisa melihat.” kata Andro.
“Apa
kau yakin dengan tindakanmu ini ?” tanya Ayah
“Yakin,
Yah. 100% yakin.”
“Apa
kau juga yakin, jika kau buta, Risa akan berteman, atau bahkan mau
menjadi pacarmu ?”
“Yakin. Dia orangnya baik, Yah. Aku mohon, Yah.” Andro sujud-sujud pada Ayah dan Ibu.
“Yakin. Dia orangnya baik, Yah. Aku mohon, Yah.” Andro sujud-sujud pada Ayah dan Ibu.
“Sekarang
kita ke rumah Risa.” ajak Ayah.
Ayah,
Ibu dan Andro pergi ke rumah Risa untuk membicarakan masalah yang
sedang dihadapi.
“Begitulah,
Pak, Bu. Andro terus memaksa.” jelas Ayah Andro.
“Kamu
serius, Ndro ?” tanya Ayah Risa.
“Serius,
Om. Saya sayang sama Risa.” kata Andro.
Tiba-tiba
Risa keluar dari kamarnya karena mendengar perbincangan mereka.
“Ayah,
Ibu. Siapa yang datang?” tanya Risa yang berjalan dengan tongkat.
“Aku,
Ris. Andro.” jawab Andro.
“Andro
??” Risa kaget.
“Sini,
Nak. “ kata ibu sambil menuntun Risa.
“Andro,
ada apa kamu ke sini ?Tadi pulang sekolah, kan sudah, sama Dila, sama
Sasya.” kata Risa.
“Memangnya
aku ga' boleh main ke sini lagi, ya, Ris ?” tanya Andro.
“Boleh
kok. Ibu, Ayah, sedang bebicara apa sama Andro?”
“Saya
saja yang menjelaskan Om, Tante. Ris, aku punya kabar bagus.”
“Apa
?” tanya Risa.
“Ada
pendonor mata buatmu. Ternyata dia sangat menyukaimu. Dia teman
sekelasmu. Malah teman baikmu. Dia akan dengan senang jika kau mau
menerima matanya.” jelas Andro, Ibu Risa dan Ibu Andro menangis.
“Yang
benar, Ndro ?Siapa orang itu ?” tanya Risa.
“Aku
ga' tahu, Ris. Tapi, kamu mau, kan menerima matanya ?” tanya Andro.
“Aku,
sih, dengan sangat senang menerimanya, tapi siapa orang itu?” tanya
Risa.
“Suatu
saat kamu akan tahu jika kamu sudah bisa melihat. Kamu mau, kan
menerimanya ?”
“Mmm,
bagaimana, Yah, Bu ?” tanya Risa pada orangtuanya.
“Itu
pilihan kamu, Ris.”
“Kamu
harus menerimanya, Ris. Dia memaksaku agar kamu menerima.” kata
Andro.
“Baiklah
aku akan menerimanya. Dia minta balasan apa, Ndro?” pinta Risa.
“Dia
ga' mau apa-apa, Ris, kecuali jika kamu mau dengan setia
menemaninya.”
“Baiklah.
Aku mau, Ndro.”
“Makasih,
Ris.” kata Andro.
Lalu,
esok harinya, Andro dan Risa siap operasi. Teman-teman yang lainpun
dengan setia menunggu mereka di ruang tunggu. Ibu Andro yang masih
belum percaya, anaknya begitu mencintai Risa bahkan dengan suka rela
mendonorkan matanya untuk Risa.
Beberapa
jam setelah operasi. Mereka berdua masih belum tersadarkan. Beberapa
menit kemudian, Andro kebingungan. Dia tak melihat apa-apa, serasa
pusing, dan gelap. Tapi dia bangga sudah bisa membuat Risa melihat
indahnya dunia lagi.
“Ayah,
Ibu. Gimana Risa ?” tanya Andro.
“Risa
belum sadar, Ndro.” jawab Ibu.
“Semoga
dia bisa melihat lagi dengan mataku.” kata Andro.
Beberapa
menit setelahnya, perban di mata Risa dibuka. Risa membuka matanya
perlahan-lahan.
“Buka
matamu perlahan-lahan.” suruh dokter.
Dan
ternyata, Risa bisa melihat lagi. Di sana ada Ayah, Ibu, Dila, dan
Sasya. Dia mencari Andro. Tapi tak ada. Entah apa yang dipikirkannya,
kenapa dia mencari Andro.
“Mataku....
Aku bisa melihat lagi !!” kata Risa, senang. Lalu memeluk ibu.
“Tapi, bu, mana Andro??” kata Risa.
“Alhamdulillah,
Ris. Kamu akhirnya bisa melihat lagi.” kata Dila.
“Andro...”
jawab Ayahnya namun tak bisa menjawab.
“Andro
kemana, Ayah ??” tanya Risa lagi.
Tiba-tiba,
ada yang masuk ke ruangan Risa. Duduk di kursi roda, didorong oleh
seorang ibu, diikuti seorang ayah, yang tak lain adalah Andro.
“Hai,
Ris. Gimana, mata kamu?” tanya Andro dengan senyum.
“Andro
??” Risa menangis. Bahkan, semuanya pun menangis, kecuali Andro.
“Gimana,
Ris ? Kamu sudah bisa melihat, kan ?” tanya Andro lagi.
Risa
memeluk Andro. “Kamu... Jadi kamu, Ndro yang mendonorkan mata kamu
buat aku?”
“Bukan,
Ris. Tapi mataku ingin jadi matamu juga.”
Risa
tak kuasa menahan airmatanya. “Jika aku tahu yang mendonorkan mata
ini adalah kamu, aku akan menolaknya !! Dokter, aku mau buang mata
ini !!!” Risa teriak-teriak sambil memegang matanya.
Ibu
memeluk Risa, menenangkannya. “Risa, jangan lakukan itu. Jika kamu
mau membuang mata itu, sama saja kamu ga' menghargai Andro.”
“Tapi...”
kata Risa.
“Ris,
tolong hargai aku. Aku senang jika kamu melihat lagi. Walaupun aku
ga' bisa melihat, tapi aku ada kamu yang selalu menemaniku melihat
indahnya dunia.” kata Andro.
Risa
memeluk Andro lagi. “Aku janji, Ndro, aku akan selalu ada buat
kamu. Aku janji.”
Dan
akhirnya dengan peristiwa di rumah sakit itu, Risa sudah menjadi
kekasih Andro. Bahkan demi menjaga Andro, Risa tinggal di rumah
Andro.
Mereka
pun menjalani semua dengan iklas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar