“Melihatnya saja itu
sudah membuatku senang.”
Kalimat tersebut kini menjadi kalimat
pokok bagi Riri. Pasalnya dia baru kesengsem dengan cowok bernama
Win. Win adalah cowok yang baru dikenalnya. Karena Win sekeluarga
baru saja pindahan, dan kebetulan depan rumah Riri ada rumah kosong.
Maka dihunilah Win sekeluarga.
Pada suatu hari, Upi, teman Riri main
ke rumah Riri. Berniat ingin melihat sekeren apa Win sehingga membuat
Riri jatuh hati padanya.
Upi : “Mana, Ri, kak Win. Kok belum
keluar rumah ?”
Riri : “Tunggu saja. Biasanya jam
segini dia nongol kok.”
Upi : “Jadi penasaran aku.”
Riri : “Keren pokoknya. Agak pendiem,
tapi pas kumpul sama teman-temannya dia cerewet juga.”
Upi : “Tapi mana ?”
Riri : “Tunggu sajalah.”
Lima menit kemudian. Win keluar juga
dari rumahnya. Dengan membawa bola basket. Dia bermain-main di
halaman rumah. Riri dan Upi yang mengintip lewat jendela kegirangan.
Terutama Riri. Dia yang paling heboh.
Riri : “Gimana, Pi ? Dia keren, kan
??”
Upi : “Ya, lumayan. Tapi jangan
terlalu berharap. Cowok sekeren kak Win sudah pasti banyak yang
naksir. Ditambah lagi dia sudah dewasa, Ri.”
Riri : “Itu dia permasalahannya. Aku
takut jatuh cinta padanya, Pi. Aku juga ga' tahu apa dia sudah
punya pacar apa belum.”
Upi : “Aku harap belum, Ri. Aku
kasihan padamu. Cintamu selalu bertepuk sebelah tangan.”
Riri : “Kasihan atau mengejekku !!”
Upi : “Hahahha... Eh, samperin, yok.”
Riri : “What !!! Ga' ah. Malu.”
Upi : “Kenapa mesti malu ? Kamu suka,
kan sama dia ?”
Riri : “Ya dibilang suka, sih iya.
Tapi melihatnya saja, aku sudah merasa senang.”
Upi : “Payah, kamu. Punya makanan apa
kamu ? Kita bawa ke sana.”
Riri : “Makanan ?? Tunggu.”
Riri mengambilkan makanan yang ada di
kulkas. Dengan kenekatan, Riri dan Upi memberanikan diri menghampiri
Win yang sedang main basket itu.
Upi : “Hai.”
Win : “Hai, juga. Tetangga sebelah,
ya ?”
Upi : “Bukan. Aku temannya Riri.”
Riri : “Hai, kak Win.”
Win : “Eh Riri. Ada apa, Ri ?”
Upi : “Mau ngobrol-ngobrol sama
kakak. Ga' lagi sibuk, kan kak ?”
Riri : “Kamu apaan, sih, Pi. Yang ditanya, kan aku.”
Riri : “Kamu apaan, sih, Pi. Yang ditanya, kan aku.”
Win : “Hhahaha... Ya kalau sekarang
ga' sibuk. Kalau nanti malam baru sibuk.”
Riri : “Memangnya mau ke mana, kak ?”
Win : “Di kampusku ada pentas seni
drama. Tapi aku belum dapat teman.
Upi : “Riri lagi ga' sibuk, kak. Ajak
dia saja.”
Win : “Kamu suka drama juga, ya, Ri
?”
Upi : “Dia suka banget, kak. Di sekolah dia adalah ketua pensi.” ( Upi mengarang ).
Upi : “Dia suka banget, kak. Di sekolah dia adalah ketua pensi.” ( Upi mengarang ).
Riri : “Apa-apaan kamu, Pi. Mmm,
sebenernya aku lebih suka tampilnya, kak.”
Win : “Wah, sayang sekali. Pentas
nanti sudah ga' ada peran yang kosong.”
Upi : “Riri juga suka nontonnya kok,
kak.”
Riri : “Upi !!”
Win : “Kalau begitu nanti temani aku,
ya, Ri. Bisa, kan ?”
Riri : “Sepertinya bisa, kak. Nanti
aku kabari lagi.”
Win : “Okelah. Eh, bisa main basket,
ga ?”
Upi : “Riri bisa main apa saja, kak.
Basket, volly, renang, apa sajalah.”
Win : “Wow... Hebat.”
Riri : “Hehehe... Ga' seperti yang
kakak bayangkan. Tapi ada satu hal yang aku ga' akan pernah bisa
melakukannya. Ini sulit banget.”
Win : “Apa memangnya ?”
Riri : “Aishiteru To Ienakute.”
Riri : “Aishiteru To Ienakute.”
Upi : “Apa itu ??”
Riri : “Bukan apa-apa. Heheh... Lupakan saja.”
Riri : “Bukan apa-apa. Heheh... Lupakan saja.”
Malam tiba sekitar pukul 7. Akhirnya
Riri mau juga menemani Win. Kesempatan ga' mungkin dia lewatkan
begitu saja. Kapan lagi jalan berduaan sama Win, pikirnya begitu.
Tiba di kampus.
Riri : “Aku malu, kak.”
Win : “Ga' perlu malu, Ri. Tenang
saja.”
Riri : “Aku baru pertama kali datang
ke acara segede ini, kak. Ditambah lagi aku anak sekolahan
sendiri. Yang lain ga' ada.”
Win : “Hahha.. Tenang saja. Aku
tinggal sendiri kamu ga' apa-apa, kan ?? Soalnya aku mau viting
costum dulu.”
Riri : “Ga' apa-apa, kok, kak. Aku
juga mau ke toilet.”
Win : “Ya sudah. Toilet ada di sana.
Nanti langsung masuk ke ruang gedung setelah itu, ya.”
Riri : “Oke, kak.”
Win : “Kalau ada apa-apa hubungi aku.”
Win : “Kalau ada apa-apa hubungi aku.”
Riri sendirian di sana. Dia seperti
anak hilang. Lalu dia menelvon Upi.
Upi : “Hai, Riri. Gimana ??”
Riri : “Aku jadi semut dalam sangkar burung. Ga' tau apa-apa aku.”
Riri : “Aku jadi semut dalam sangkar burung. Ga' tau apa-apa aku.”
Upi : “Pujaanmu ke mana ?”
Riri : “Baru viting costum. Aku ditinggal sendiri. Mana aku cuma aku yang anak sekolahan coba.”
Upi : “Jangan hyperbola, Ri. Nikmati waktumu bersama kak Win.”
Riri : “Baru viting costum. Aku ditinggal sendiri. Mana aku cuma aku yang anak sekolahan coba.”
Upi : “Jangan hyperbola, Ri. Nikmati waktumu bersama kak Win.”
Riri : “Asal kamu tahu saja, Pi, aku
malu tahu !! Kayaknya aku saltum.”
Upi : “Saltum gimana ? Kamu ga' pake
kebaya', kan ?
Riri : “Ya ga' lah. Aku pake baju kurang bahan. Kan, kayak ga' sopan saja gitu.”
Riri : “Ya ga' lah. Aku pake baju kurang bahan. Kan, kayak ga' sopan saja gitu.”
Upi : “Seru, dong. Kalau kedinginan
bisa minta peluk kak Win. Hahah...”
Riri : “Dasar kamu !! Ya sudah, aku
matiin dulu, ya. Acara sudah mau dimulai.”
Upi : “Selamat bersenang-senang, Ri.”
Upi : “Selamat bersenang-senang, Ri.”
Riri menujugedung. Dia duduk di paling
depan. Drama pun dimulai. Riri terkesima dengan penampilan Win. Sudah
seperti aktor papan atas acktingnya. Riri hanya melihat aksi Win.
Banyak yang memotret adegan-adegan para pemain, tak terkecuali Riri.
Tapi dia hanya memotret Win.
Acara selesai. Tapi Win dan Riri belum
pulang. Win mengajak Riri ke mall. Tiba di mall, Win malah mengajak
ke counter boneka.
Riri : “Kita ngapain di sini, kak ?”
Win : “Nyari bonekalah. Apalagi.”
Riri berfikir, apakah Win akan
membelikannya boneka. Tapi Riri salah. Win membeli boneka untuk
Mezty, pacarnya. Riri sudah senang dulu.
Win : “Menurutmu bagus yang panda
atau dolphin ?”
Riri : “Mmmm... Panda kayaknya, kak.”
Win : “Panda, ya. Mmm... cewek suka
panda, ya ?”
Riri : “Tergantung orangnya sih, kak. Tapi kalau aku bagus panda. Lucu.”
Riri : “Tergantung orangnya sih, kak. Tapi kalau aku bagus panda. Lucu.”
Win : “Semoga saja dia suka.”
Riri : “Suka, kok.” ( Riri tak sadar dengan ucapannya ).
Riri : “Suka, kok.” ( Riri tak sadar dengan ucapannya ).
Win : “Dari mana kamu tahu jika dia
bakal suka, Ri ?”
Riri : “Ha ?? ( gugup ). Oh, ga' kok, kak. Cewek mana, sih yang nolak pemberian seseorang. Apalagi seseorang itu sangat berarti buatnya.”
Riri : “Ha ?? ( gugup ). Oh, ga' kok, kak. Cewek mana, sih yang nolak pemberian seseorang. Apalagi seseorang itu sangat berarti buatnya.”
Win : “Gitu, ya. Kalau kamu suka yang
mana ?”
Riri : ( kaget, ternyata pandanya bukan untukknya ). “Mmm, panda.”
Riri : ( kaget, ternyata pandanya bukan untukknya ). “Mmm, panda.”
Win : “Panda juga ?”
Riri : “Juga ?? Lho itu ?”
Win : “Yang ini buat seseorang. Kamu suka panda juga, ya, Ri ?”
Riri : “Ga', kak. Aku suka monyet.” ( ngambek).
Win : “Yang ini buat seseorang. Kamu suka panda juga, ya, Ri ?”
Riri : “Ga', kak. Aku suka monyet.” ( ngambek).
Riri sudah senang dulu. Dia pikir
pilihannya adalah tanda terimakasih Win untuknya. Tapi Riri malah
dibelikan boneka monyet.
Sepulangnya dari mall, Riri menelvon
Upi lagi.
Upi : “Hahah... Sabar, Ri.”
Riri : “Sabar gimana. Atau
jangan-jangan dia memang sudah punya pacar kali, Pi.”
Upi : “Mana kutahu. Tanya sajalah.”
Upi : “Mana kutahu. Tanya sajalah.”
Riri : “Aku masih punya malu, Pi.”
Upi : “Tanya pas timingnya pas lah.”
Riri : “Aku galau, Pi.”
Upi : “Au' ah. Besok kita bahas ini. Aku ngantuk, Ri.” ( Upi mematikan handphone ).
Upi : “Au' ah. Besok kita bahas ini. Aku ngantuk, Ri.” ( Upi mematikan handphone ).
Keesokan harinya. Riri yang hendak ke
sekolah jalan kaki itu bertemu dengan Win yang dari lari pagi. Riri
bingung, harus menyapa atau mengacuhkannya. Jika dia menyapa, dia
masih kecewa dengan Win. Jika Riri mengacuhkannya, dia ingin menyapa
walau hanya sebentar. Tapi melihatnya saja itu sudah membuatnya
senang. Tak tahunya malah Win yang menyapa Riri.
Win : “Hai, Ri.”
Riri : “Hai.”
Win : “Pagi bener ke sekolah.”
Riri : “Hai.”
Win : “Pagi bener ke sekolah.”
Riri : “Iya. Ada piket.” ( lempeng
jawabannya ).
Win : “Oh, ya sudah. Maaf mengganggu,
ya.”
Riri ; “Iya. Ga' apa-apa, kak.
Permisi.”
Riri meninggalkan Win sendirian. Dalam
hati Win merasa Riri aneh hari itu. Tak seperti biasa Riri begitu.
Akhirnya Win mengikuti Riri dengan sembunyi-sembunyi.
Riri : “Dasar. Bener-bener ga' tahu
hatiku banget dia. Maksa ikut ke teater, dibeliin boneka monyet.
Padahal, kan aku suka panda. Eh, sekarang, jadi dodol banget gitu.
Sok keren. Ga' tahu apa kalau aku tuh suka dia ! Ya Tuhan, apakah
begini terus nasibku?? Yaa, biar aku sajalah yang sakit.”
Mendengar gumaman Riri, Win menyadari
kesalahannya. Dia berinisiatif membelikan boneka yang sama seperti
boneka yang dibelikan untuk Mezty. Tapi Riri malah mengetahui
keberadaan Win.
Riri : “Kakak ?”
Win : “Yaaah, ketahuan.”
Win : “Yaaah, ketahuan.”
Riri : “Kakak ngikutin aku, ya
?”
Win : “Ga', Ri. Tadi aku mau beli minuman.”
Riri : “Tapi kenapa di belakangku terus, kak ?”
Win : “Sekarang jawab. Kamu suka denganku ?”
Win : “Ga', Ri. Tadi aku mau beli minuman.”
Riri : “Tapi kenapa di belakangku terus, kak ?”
Win : “Sekarang jawab. Kamu suka denganku ?”
Riri : “Ga', kak. Apa-apaan.”
Win : “Jujur saja, Ri. Aku sudah dengar semua.”
Riri : “Jika sudah dengar ngapain tanya.”
Win : “Cuma memastikan saja.
Win : “Jujur saja, Ri. Aku sudah dengar semua.”
Riri : “Jika sudah dengar ngapain tanya.”
Win : “Cuma memastikan saja.
Riri : “Kakak sudah punya pacar, ga'
seharusnya aku menyukaimu. Kakak juga sudah dewasa. Mana mungkin
pacaran sama bocah sepertiku.”
Win : “Jadi kamu suka denganku, kan ?”
Riri : “Iya !!!”
Win : “Jadi kamu suka denganku, kan ?”
Riri : “Iya !!!”
Win : “Kamu telat, Ri. Maaf, jika aku
ga' tahu perasaanmu. Jika aku tahu perasaanmu, mungkin kita bisa
pacaran.”
Riri : “Ga', kak. Aku ga' mau.”
Win : “Lalu apa selanjutnya ?”
Riri : “Jika aku memang ga' akan pernah bisa memilikimu, aku harap kita jadi kakak adik. Walaupun beda ibu, tapi aku ingin bisa sama-sama sama kakak.”
Win : “Lalu apa selanjutnya ?”
Riri : “Jika aku memang ga' akan pernah bisa memilikimu, aku harap kita jadi kakak adik. Walaupun beda ibu, tapi aku ingin bisa sama-sama sama kakak.”
Win : “Baiklah, Ri. Aku juga ingin
sekali kita jadi kakak adik.”
Riri : “Terimakasih, kak. Hanya dengan melihat kakak, aku sudah merasa senang.”
Riri : “Terimakasih, kak. Hanya dengan melihat kakak, aku sudah merasa senang.”
Win : ( memeluk Riri ). “Jadi kakak
adik selamanya.”
Riri : “Tapi aku harus sekolah,
kak.”
Win : “Aku antar, ya.”
Riri : “Pakai apa, kak ? Kakak, kan jalan kaki.”
Win : “Kugendong. Cyaaa !!!”
Win : “Aku antar, ya.”
Riri : “Pakai apa, kak ? Kakak, kan jalan kaki.”
Win : “Kugendong. Cyaaa !!!”
Dan akhirnya kini mereka jadi kakak
adik beda ibu. Jika Mezty sedang tak bisa menemani Win, Riri siap 24
jam. Sejak itulah mereka jadi kakak adik selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar